Penulis Galis S.T.
Ketika Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) pertama kali diluncurkan pada 17 Agustus 2019, banyak yang menganggapnya sekadar inovasi untuk mempercepat pembayaran digital di Indonesia. Namun di balik adopsi cepat QRIS di seluruh negeri, terdapat sebuah gerakan ekonomi yang lebih besar, lebih sunyi, dan lebih menentukan masa depan Indonesia: kemandirian finansial dalam menghadapi dunia yang terpolarisasi oleh perang tarif.
Perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok, yang memuncak di tahun 2025, membuka mata dunia terhadap rapuhnya ketergantungan global. Saat dua raksasa ekonomi saling menekan dengan bea masuk, embargo teknologi, dan sanksi finansial, negara-negara berkembang seperti Indonesia menyadari satu fakta penting: mereka harus membangun sistem sendiri, atau selamanya menjadi korban pertarungan yang bukan milik mereka.
QRIS dan Pelepasan dari Jebakan Sistem Global
Selama ini, ekosistem pembayaran dunia dikuasai oleh jaringan asing Visa, Mastercard, American Express perusahaan-perusahaan yang bermarkas di Amerika Serikat. Setiap transaksi yang melewati jaringan ini berarti data mengalir ke luar negeri, biaya jasa mengalir ke luar negeri, dan lebih dalam lagi, ketergantungan strategis pun terbentuk.
QRIS, dengan satu gerakan, mulai membongkar ketergantungan ini. Dengan memaksa integrasi semua QR code di Indonesia ke dalam satu standar nasional, Bank Indonesia tidak hanya mengatur teknis pembayaran. Ia sedang membangun tembok ekonomi: melindungi data transaksi domestik, menurunkan ketergantungan pada infrastruktur asing, dan memperkecil pengaruh entitas keuangan luar dalam ekonomi mikro nasional.
Langkah ini, meskipun tampak sederhana di permukaan, menciptakan lubang kecil di benteng dominasi keuangan Amerika Serikat. Dan lubang kecil, dalam perang panjang, bisa menjadi titik runtuh.
QRIS dalam Lanskap Global: Efek Domino dalam Perang Tarif
Ketika Indonesia memperkuat sistem keuangan domestiknya, negara lain memperhatikan. Di Asia Tenggara, negara-negara seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina mempercepat adopsi sistem pembayaran berbasis QR code lokal mereka sendiri. Di Afrika, negara-negara mulai memperkenalkan sistem pembayaran mobile lokal yang terpisah dari jaringan Amerika. Di Amerika Latin, gerakan serupa bermunculan.
Efek domino ini memperumit posisi Amerika Serikat dalam perang tarif dan teknologi global. Tidak hanya menghadapi perlawanan manufaktur dari Tiongkok, tetapi juga menghadapi erosi pengaruh di sektor jasa keuangan internasional — sektor yang selama ini menjadi sumber kekuatan ekonominya yang paling stabil.
Ketika dunia tidak lagi bergantung pada satu jaringan keuangan global, maka alat tekanan tradisional Amerika — sanksi finansial, kontrol pembayaran internasional, manipulasi biaya transaksi menjadi semakin tumpul.
QRIS, dalam konteks ini, bukan hanya sistem pembayaran. Ia adalah bagian dari resistansi global yang diam-diam, gerakan "desentralisasi ekonomi" yang lahir dari pelajaran pahit perang tarif.
Masa Depan yang Dipertaruhkan
QRIS juga mengajarkan satu pelajaran strategis: bahwa dalam dunia baru, kedaulatan digital adalah pilar kedaulatan nasional. Negara yang tidak mengontrol infrastrukturnya sendiri baik itu keuangan, teknologi, atau data akan selalu berada di bawah bayang-bayang negara lain.
Dengan QRIS, Indonesia menunjukkan bahwa pembangunan kemandirian tidak harus dimulai dengan proyek-proyek megastrategis atau konfrontasi terbuka. Ia bisa dimulai dari perubahan kecil di akar rumput: dari pembayaran warung kopi, pasar tradisional, hingga platform e-commerce nasional.
Di dunia yang terpecah antara Washington dan Beijing, kemampuan untuk berdiri sendiri, untuk berkata "kami punya jalur kami sendiri", menjadi kekuatan yang tidak ternilai.
Setiap transaksi QRIS hari ini adalah bagian dari perjuangan itu. Bukan sekadar demi efisiensi, tapi demi kedaulatan.
Dan mungkin, ketika sejarah ekonomi dunia ditulis ulang, QRIS akan dikenang bukan hanya sebagai inovasi pembayaran tapi sebagai simbol kecil dari bagaimana bangsa-bangsa menolak tunduk dalam perang yang tidak mereka pilih. (Pengamat IT dari Binus)